Menguak misteri tiga desa di rute setan

0
6:35 PM
Pagi itu aku hendak menuju ke kota untuk mengurus surat-surat yang aku perlukan untuk mengurus kepindahanku ke Ibukota. Perjalanan ke kota bisa ditempuh melalui dua rute. Rute yang pertama adalah rute yang biasa dilalui oleh orang-orang, hanya waktu yang ditempuh memakan waktu relatif lebih lama. Rute yang kedua adalah jalan pintas, rute ini meski relatif lebih cepat dibanding rute pertama sangat jarang diewati sebab banyaknya mitos yang berkembang. Mitos-mitos menyebutkan kalau orang yang lewat sana biasanya akan dijumpai oleh makhluk-makhluk aneh yang tidak memiliki telinga atau mulut atau mata. Oleh sebab itu, oleh penduduk setempat rute tersebut disebut “rute setan.”

Karena aku diburu waktu pengurusan dokumen yang harus segera aku selesaikan. Maka aku saat itu memutuskan untuk mengambil rute setan saja. Ada  alasan kenapa aku berani melewatinya. Alasan pertama aku tidak percaya dengan mitos-mitos tersebut. Yang kedua, aku sudah siap,kalaupun mitos tersebut benar, sekarang masih pagi, jadi aku tidak perlu takut dengan makhluk-makhluk aneh yang sering dibicarakan. So, setelah segala sesuatu yang aku butuhkan sudah kupersiapkan, aku pun memulai perjalanan dengan mantap.

Di ujung jalan desa, aku sengaja untuk mengambil jalan yang berbelok ke kiri. Orang-orang yang saat itu sedang asyik ngopi di warung yang ada di ujung jalan menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin mereka berpikir, berani-beraninya aku melalui rute misterius tersebut. Aku cuek saja dan terus menggeber motor bututku melalui jalan itu. Setengah perjalanan, aku mulai memasuki kawasan yang sepi, di kiri kanan jalan banyak sekali pohon-pohon yang tumbuh dengan sangat baik, batangnya besar, daunnya pun rimbun. Ditengah perjalanan aku bingung, sebab jalan didepanku ternyata bercabang. Aku ragu, jalan mana yang harus aku tempuh, apakah aku harus mengambil yang kanan, ataukah yang kiri. Sempat aku berpikir untuk kembali, tapi sepertinya nanggung. Dengan intuisiku aku putuskan untuk mengambil jalan yang sebelah kanan.

Ternyata intuisiku kali ini tentang rute setan salah, sebab ketika aku mengambil jalan itu, ternyata jalanannya menurun, sedangkan jalan ke kota adalah menanjak. Namun aku positif thinking, siapa tau jalan didepan kembali menanjak. Semakin aku melaju, aku tidak menemui jalanan menanjak, karena takut akan terlambat, aku putuskan untuk berbalik, sehingga aku bisa mengambil jalan yang satunya. Saat hendak berbalik arah, tiba-tiba motorku mati. “Waduh, kenapa lagi ama si benik (Benik adalah panggilanku untuk motor kesayanganku, yang kuambil dari singkatan Bebek Unik),” pikirku dalam hati. Tapi aku nggak mau berpikir yang macam-macam, segera kupinggirkan Si benik, lalu kuperiksa semuanya untuk mengetahui kenapa dia bisa mogok.

Saat sedang asyik-asyiknya mengutak-atik mtor, tiba-tiba pundakku terasa ditepuk seseorang. Spontan aku menengok, dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang kulihat. Aku hendak berteriak, namun, lidah ini terasa kelu. Aku hendak berlari, namun kaki ini terasa berat untuk dilangkahkan. “Apakah ini perasaan saat orang bertemu setan?” pikirku dalam hati. Tanpa aku sadari, aku jatuh pingsan, mungkin karena saking takutnya.

Aku terbangun disebuah kamar, lamat-lamat sambil membuka, aku berusaha mengenali sekelilingku. “Apakah aku sedang berada di surga? Apakah aku sudah mati?” pikirku saat itu. Saat mataku sedang menjelajahi ruanganku, akhirnya mataku tertuju ke seseorang yang familiar. Seketika aku berteriak, orang yang ternyata adalah orang yang aku temui di jalan tadi mendadak jadi panik. Lalu, tiba-tiba muncullah sekelompok orang yang masuk ke kamar itu, dan mereka mempunyai ciri yang sama.

“Tenanglah, tenang, kami tidak akan menyakitimu,” ujar seseorang yang aku temui di jalan tadi.

Aku dengan perasaan was-was pun berhenti berteriak, aku perhatikan satu persatu dari mereka. Mereka semua tampak sama denganku, mereka memiliki wajah manusia. Namun, sayangnya mereka semua tidak memiliki satu hal, tidak memiliki telinga. Mitos tentang rute setan ternyata benar, ada makhluk tak bertelinga. Aku begitu takut, namun, orang yang kutemui berusaha menenangkanku.

“Kami tidak akan menyakitimu, aku tadi menyapamu cuma ingin membantu, namun kamu keburu pingsan,” ujarnya. “Aku mengerti kenapa kamu pingsan, banyak juga orang yang mengalami hal serupa sepertimu, jadi aku tidak kaget,” dia menambahkan.

“Ma…….maaf, sa….saya tadi ketakutan, saya pikir sedang bertemu hantu,” jawabku.

Ia tersenyum, lalu memberi isyarat kalau dia tidak bisa mendengar. Ia menyodorkan sebuah papan yang ia kalungi. Aku pun segera menyadari kalau mereka tidak akan bisa mendengar ucapanku, dan aku lihat setiap orang disana membawa papan yang sama yang dikalungkan di leher. Orang itu lalu menuliskan sebuah kalimat, “tulis disini.” Aku lalu menuliskan kalau meminta maaf kepada mereka karna mengganggap mereka hantu dan pingsan tadi. Aku juga bertanya kepada mereka, dimana aku berada saat ini.

“Ini adalah desa Midhanget (Midhanget adalah bahasa Jawa yang artinya mendengar),” jawab orang yang tadi kutemui dijalan. Aku heran, kenapa desa ini dinamakan seperti itu, padahal semua orang disini tidak bisa mendengar.

“Nama anda siapa?” tulisku di papan tulis orang tersebut.

“Nama saya Bagyo, lengkapnya Subagyo,” jawabnya. Lalu dia mengajak aku untuk keluar dan bertemu dengan pemnghuni desa lainnya.

Saat aku keluar ternyata suasana sudah sore, lalu aku berpikir kalau aku lumayan lama pingsan tadi. Kulihat di desa itu hanya ada 12 rumah, masing-masing rumah dihuni oleh 4 orang, aku tau sebab semua orang di desa Midhanget muncul dan melihat aku sambil berdiri didepan rumahnya masing. Aku tersenyum kepada mereka, dan merekapun juga tersenyum kepadaku.

Aku lalu berbalik kearah pak Bagyo dan memberi isyarat kalau aku ingin berkomunikasi. Ia maju sambil mengulurkan papannya dan memberikan batu putih yang berfungsi seperti kapur kepadaku. “Maaf, saya harus pergi ke kota segera, bisa tunjukkan saya dimana jalannya,” tulisku.

“Owh, anda ingin ke kota? Tapi saran saya sebaiknya ditunda besok pagi saja, kalau malam daerah sini sangat gelap, lampu sepeda motor saja tidak cukup untuk membantu anda melewati jalannya. Oleh sebab itu warga desa Midhanget hanya beraktivitas di siang hari, sedangkan malam hari, kami lebih senang di rumah sambil bercengkerama bersama keluarga,” jawabnya secara mendetail. Orang itu lalu menawariku untuk makan, karena katanya aku terlihat lemas. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku pun makan apa yang mereka suguhkan, nasi jagung yang diberi sayur lodeh dengan ditambahi sambal, lauknya adalah ikan wader yang digoreng lama jadi terasa renyah.

Setelah makan aku lalu berbincang-bincang dengan pak Bagyo tentang desa Midhanget. Dari sana aku tau kenapa orang-orang di desa tersebut menjadi tak memiliki telinga. Menurut mitos, nenek moyang mereka dahulu adalah penghuni kerajaan langit. Nenek moyang mereka diusir sebab mereka sering menguping pembicaraan kaisar langit dan menyebarkan ke penghuni kerajaan langit lainnya. Akibatnya, nenek moyang mereka dikutuk kalau keturunannya tidak akan memiliki telinga sampai berakhirnya dunia. Ada banyak pertanyaan yang aku tanyakan kepada pak Bagyo yang menjawabnya dengan penuh antusias dan rasa kekeluargaan yang hebat. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 01.00 malam, aku pamit tidur kepada pak Bagyo yang lalu menunjukkan kamar tidur yang bisa aku tempati.

Keesokan harinya pak Bagyo membangunkanku sekitar pukul 08.00 pagi. Dia lalu mempersilahkan aku untuk mandi, setelah itu mengajak aku makan. Pukul 09.00 pak Bagyo dan penduduk desa Midhanget mengantarkan aku ke jalan setapak yang akan membawaku kembali ke jalan utama “rute setan.” Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas keramahan mereka, aku pun berangkat. Dalam hati aku bertekad untuk menghapus semua mitos tentang rute setan yang ada selama ini. Benar juga apa kata pak Bagyo, jalan setapak itu membawaku ke jalan utama, aku lalu mengikuti jalan utama itu untuk menuju ke kota. Setelah berapa lama berjalan, aku kembali dikejutkan dengan adanya jalan bercabang, aku pun kembali dibuat bingung olehnya. Intuisiku yang pertama boleh salah, namun intuisiku yang kedua tidak akan salah. Aku putuskan untuk mengambil jalan yang sebalah kiri.

Seperti déjà vu, intuisiku kembali salah, jalanan ini tidak menuju ke kota, karna jalan ini kembali menurun. Kembali aku mengulangi hal yang sama, aku harus kembali ke jalan utama lagi. Entah nasibku sedang sial, atau apalah namanya, si benik kembali mogok. Seperti kejadian yang sudah bisa ditebak, aku kembali disapa seseorang, lalu aku jatuh pingsan, dan dibawa ke tempat orang yang menyapaku itu. Saat aku sadar dari pingsan, aku tidaklah takut, aku lihat mereka, dan aku melihat mereka semua sama, mereka adalah manusia, sayangnya mereka tidak punya mata. Aku juga berpikir kenapa aku harus pingsan saat melihat mereka. Toh mereka bukan orang jahat, mereka adalah orang baik.

Sama seperti kejadian di desa Midhanget, aku diminta untuk tidak meneruskan perjalanan malam ini tapi besok pagi saja. Di desa yang kemudian aku tahu namanya adalah desa Mriksani (Mriksani adalah bahasa Jawa yang berarti “melihat”), semua orang didesa itu memakai satu aksesori yang sama, yaitu gelang kaki dengan bandul lonceng. Menurut pak Sugeng (nama orang yang menyapaku di jalan sebelum aku pingsan tadi), penduduk di desa Mriksani daya pendengarannya sangat tajam, mereka bisa mendengar suara lonecng dari jarak jauh dan tahu itu siapa. Oleh sebab itu, penduduk desa ini tidak memerlukan tongkat untuk membantu mereka berjalan. Pendengaran mereka sudah lebih dari cukup sebagai bantuan untuk berjalan. Dari pak Sugeng aku mendengar legenda dari desa Mriksani. Nenek moyang mereka juga adalah penduduk kahyangan. Nenek moyang mereka diusir dan dikutuk memiliki keturunan yang tidak akan memiliki mata sampai dunia musnah. Hal ini disebabkan kesalahan nenek moyang mereka yang suka mengintip kegiatan penghuni istana kahyangan. Tak terasa perbincanganku dengan pak sugeng berlangsung hingga pukul 01.00. Aku pamit kepada si empunya rumah untuk istirahat dan beliau menujukkan kamar yang bisa kugunakan.

Sama seperti dengan kejadian di desa Midhanget, kali ini pak Sugeng yang membangunkanku pukul 08.00 pagi. Setelah mandi dan makan, aku lalu berpamitan dan berterima kasih kepada seluruh penduduk desa Mriksani (jumlahnya sama persis dengan penduduk di desa sebelumnya) yang sengaja mengantarku ke jalan setapak yang akan membawaku menuju jalan utama rute setan.

Aku pun menggeber si benik kembali ke jalan utama rute setan. Kali ini, dalam hatiku aku bertekad untuk tidak akan pingsan lagi jika aku mengalami kejadian yang serupa. Tak dinyana ku kembali dihadapkan dengan jalan bercabang. Aku ambil saja jalan sebelah kiri, aku tidak lagi menggunakan intuisi, aku ambil jalan sekenanya saja. Aku tak peduli jika nanti ketemu makhluk aneh lagi, aku tidak akan pingsan. Tapi, harapan tinggallah harapan, aku mengalami kejadian serupa seperti kejadian-kejadian sebelumnya, dan ternyata aku tetap pingsan (mungkin aku terlalu penakut hingga sering pingsan, hehehehe).

Kembali aku dibawa ke sebuah rumah dari penduduk desa yang aku temui di jalan rute setan tadi. Kali ini, aku menemui manusia yang sama denganku, hanya sayangnya mereka tidak memiliki mulut. Rutinitas yang kulalui didesa ini hampir sama dengan dua desa sebelumnya. Disini, aku menjadi tamu bagi pak Welas. Dari beliau aku tahu nama desa ini adalah Ngendika (bahasa Jawa yang artinya “berkata”). Sama seperti penduduk Midhanget, penduduk desa Ngendika berkomunikasi dengan papan dan kapur tulis.

Dari pak welas, aku tahu kalau nenek moyang penduduk desa Ngendika adalah penghuni nirwana yang diusir dari sana dan dikutuk untuk memiliki keturunan tanpa mulut. Semua itu terjadi karena nenek moyang tersebut suka berbohong, berkata kotor, dan memfitnah. Kali ini, aku pun bercengkerama dengan pak Welas hingga pukul 01.00. Aku pun kembali tidur dengan nyenyak hingga pak welas membangunkanku. Sekali lagi, aku diantar penduduk desa Ngendika (jumlah penduduknya sekali lagi sama persis dengan kedua desa sebelumnya) ke jalan setapak. Tanpa aku beritahu, mungkin pembaca sudah bisa menebak kalau jalan itu menuju ke jalan utama rute setan. Setelah berpamitan dan berterima kasih, aku melanjutkan perjalananku ke kota.

Sesampainya aku di rute setan, aku tidak peduli lagi jika aku bertemu dengan jalan bercabang, makhluk aneh, pingsan, dll, aku tidak peduli lagi, yang penting aku sampai kota. Ternyata, kekuatan pikiran memang sangat besar, ketika aku berpikir sesuatu yang buruk, hal itu justru akan terjadi. Namun, saat aku tidak memikirkannya, hal tersebut tidak terjadi. Sudah lama aku berjalan aku tidak menemui jalan bercabang. Dan samar-samar aku mendengar deru kendaraan yang terasa semakin dekat dan jumlahnya banyak. Aku segera mempercepat laju si benk, dan betul saja, aku kini bisa melihat jalan utama rute pertama.

Perjalanan pagi itu menjadi tidak menarik, karna aku hanya mengurus surat-surat di balai kota hingga menjelang siang. Setelah semua selesai, aku memutuskan untuk pulang. Aku putuskan untuk pulang melelui rute setan itu kembali. Saat sedang asyik mengendarai si benik, samar-samar aku mendengar suara orang yang aku kenal. Lambat laun, suara itu semakin jelas.

“Ang, A’ang, cepat bangun, katanya mau ke kota,” ujar suara yang ternyata suara ibuku sambil menggoyang-goyang tubuhku. Pelan-pelan aku buka mataku, dan bertanya dalam hati benarkah kejadian yang aku alami selama beberapa hari itu hanyalah mimpi. Tapi kenapa itu semua terasa nyata? Aku pun menjalankan aktivitas dengan sejuta tanya dalam benakku. Setelah mempersiapkan segala keperluanku menuju kota, aku pun berangkat. Aku dengan sengaja untuk menempuh rute kedua alias rute setan untuk menuntaskan rasa penasaranku sekaligus mencari jawaban atas mimpiku. Orang-orang yang saat itu sedang asyik ngopi di warung yang ada di ujung jalan menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin mereka berpikir, berani-beraninya aku melalui rute misterius tersebut.

Namun ternyata mitos tentang rute setan itu tidak terbukti sama sekali. Dan mimpiku tentang jalan misterius tersebut tetap menjadi misteri. Saat aku melewati jalan itu, aku tau kenapa jalan tersebut jarang dilewati. Selain rimbunan pohon yang bak hutan yang membuat jalanan kurang penerangan di siang hari, jalannya juga tidak mulus, banyak sekali lubang disana-sini. Jika kita tidak berhati-hati, maka bisa terjadi kecelakaan. Jika di mimpiku aku bertemu jalan bercabang, maka di rute ini, aku tidak menemuinya sama sekali. Dalam perjalananku, aku terus berpikir tentang apa arti mimpiku.

Aku lalu mengambil persepsi sendiri tentang mimpiku. Mimpiku tentang tiga desa di rute setan adalah hanya sebuah pelajaran bagi hidupku. Dari desa Midhanget, yang penduduknya tidak memiliki telinga, desa Mriksani, yang penduduknya tidak memiliki mata, dan desa Ngendika, yang penduduknya tidak memiliki mulut, aku bisa melihat sebuah falsafah dalam hidup. Kita, sebagai manusia yang normal, yang memiliki telinga, mata, dan mulut yang sempurna seringkali justru tidak bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Kita memiliki telinga, namun kita kurang peka dengan jeritan hati dari orang-orang disekeliling kita. Kita lebih memilih untuk mendengar kata-kata buruk dibanding untuk merenungkan kata-kata baik yang sering kita dengar. Kita memiliki mata, namun kita tidak peka dengan penderitaan orang yang kita lihat sehari-hari. Kita lebih senang melihat sesuatu yang buruk, sesuatu yang merugikan dibandingkan melihat hal-hal yang lebih bermanfaat. Kita memiliki mulut, namun kita selalu mengeluh atas kehidupan kita, tanpa mau peka bahwa ada kehidupan lain yang lebih sengsara dari kita. Dari mulut kita pun, lebih sering keluar kata-kata kotor, kebohongan, dan fitnah-fitnah, dibandingkan kata-kata baik dan kejujuran. Aku tersenyum dan menyalahkan diriku sendiri atas ketidakpekaanku terhadap lingkunganku selama umurku ini. Dan ternyata diperlukan misteri rute setan untuk bisa membuatku sadar akan itu semua. Mungkin, namanya sebaiknya diganti saja menjadi “rute malaikat.”

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: