Menguak misteri tiga desa di rute setan
0
Pagi
itu aku hendak menuju ke kota untuk mengurus surat-surat yang aku perlukan
untuk mengurus kepindahanku ke Ibukota. Perjalanan ke kota bisa ditempuh
melalui dua rute. Rute yang pertama adalah rute yang biasa dilalui oleh
orang-orang, hanya waktu yang ditempuh memakan waktu relatif lebih lama. Rute
yang kedua adalah jalan pintas, rute ini meski relatif lebih cepat dibanding
rute pertama sangat jarang diewati sebab banyaknya mitos yang berkembang.
Mitos-mitos menyebutkan kalau orang yang lewat sana biasanya akan dijumpai oleh
makhluk-makhluk aneh yang tidak memiliki telinga atau mulut atau mata. Oleh
sebab itu, oleh penduduk setempat rute tersebut disebut “rute setan.”
Karena
aku diburu waktu pengurusan dokumen yang harus segera aku selesaikan. Maka aku
saat itu memutuskan untuk mengambil rute
setan saja. Ada alasan kenapa aku
berani melewatinya. Alasan pertama aku tidak percaya dengan mitos-mitos
tersebut. Yang kedua, aku sudah siap,kalaupun mitos tersebut benar, sekarang
masih pagi, jadi aku tidak perlu takut dengan makhluk-makhluk aneh yang sering
dibicarakan. So, setelah segala sesuatu yang aku butuhkan sudah kupersiapkan,
aku pun memulai perjalanan dengan mantap.
Di
ujung jalan desa, aku sengaja untuk mengambil jalan yang berbelok ke kiri.
Orang-orang yang saat itu sedang asyik ngopi di warung yang ada di ujung jalan
menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin mereka berpikir, berani-beraninya
aku melalui rute misterius tersebut. Aku cuek saja dan terus menggeber motor
bututku melalui jalan itu. Setengah perjalanan, aku mulai memasuki kawasan yang
sepi, di kiri kanan jalan banyak sekali pohon-pohon yang tumbuh dengan sangat
baik, batangnya besar, daunnya pun rimbun. Ditengah perjalanan aku bingung,
sebab jalan didepanku ternyata bercabang. Aku ragu, jalan mana yang harus aku
tempuh, apakah aku harus mengambil yang kanan, ataukah yang kiri. Sempat aku
berpikir untuk kembali, tapi sepertinya nanggung. Dengan intuisiku aku putuskan
untuk mengambil jalan yang sebelah kanan.
Saat
sedang asyik-asyiknya mengutak-atik mtor, tiba-tiba pundakku terasa ditepuk
seseorang. Spontan aku menengok, dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang
kulihat. Aku hendak berteriak, namun, lidah ini terasa kelu. Aku hendak
berlari, namun kaki ini terasa berat untuk dilangkahkan. “Apakah ini perasaan
saat orang bertemu setan?” pikirku dalam hati. Tanpa aku sadari, aku jatuh
pingsan, mungkin karena saking takutnya.
Aku
terbangun disebuah kamar, lamat-lamat sambil membuka, aku berusaha mengenali
sekelilingku. “Apakah aku sedang berada di surga? Apakah aku sudah mati?”
pikirku saat itu. Saat mataku sedang menjelajahi ruanganku, akhirnya mataku
tertuju ke seseorang yang familiar. Seketika aku berteriak, orang yang ternyata
adalah orang yang aku temui di jalan tadi mendadak jadi panik. Lalu, tiba-tiba
muncullah sekelompok orang yang masuk ke kamar itu, dan mereka mempunyai ciri
yang sama.
“Tenanglah,
tenang, kami tidak akan menyakitimu,” ujar seseorang yang aku temui di jalan
tadi.
Aku
dengan perasaan was-was pun berhenti berteriak, aku perhatikan satu persatu
dari mereka. Mereka semua tampak sama denganku, mereka memiliki wajah manusia.
Namun, sayangnya mereka semua tidak memiliki satu hal, tidak memiliki telinga.
Mitos tentang rute setan ternyata benar, ada makhluk tak bertelinga. Aku begitu
takut, namun, orang yang kutemui berusaha menenangkanku.
“Kami
tidak akan menyakitimu, aku tadi menyapamu cuma ingin membantu, namun kamu
keburu pingsan,” ujarnya. “Aku mengerti kenapa kamu pingsan, banyak juga orang
yang mengalami hal serupa sepertimu, jadi aku tidak kaget,” dia menambahkan.
“Ma…….maaf,
sa….saya tadi ketakutan, saya pikir sedang bertemu hantu,” jawabku.
Ia
tersenyum, lalu memberi isyarat kalau dia tidak bisa mendengar. Ia menyodorkan
sebuah papan yang ia kalungi. Aku pun segera menyadari kalau mereka tidak akan
bisa mendengar ucapanku, dan aku lihat setiap orang disana membawa papan yang
sama yang dikalungkan di leher. Orang itu lalu menuliskan sebuah kalimat,
“tulis disini.” Aku lalu menuliskan kalau meminta maaf kepada mereka karna
mengganggap mereka hantu dan pingsan tadi. Aku juga bertanya kepada mereka,
dimana aku berada saat ini.
“Ini
adalah desa Midhanget (Midhanget adalah bahasa Jawa yang artinya mendengar),”
jawab orang yang tadi kutemui dijalan. Aku heran, kenapa desa ini dinamakan
seperti itu, padahal semua orang disini tidak bisa mendengar.
“Nama
anda siapa?” tulisku di papan tulis orang tersebut.
“Nama
saya Bagyo, lengkapnya Subagyo,” jawabnya. Lalu dia mengajak aku untuk keluar
dan bertemu dengan pemnghuni desa lainnya.
Saat
aku keluar ternyata suasana sudah sore, lalu aku berpikir kalau aku lumayan
lama pingsan tadi. Kulihat di desa itu hanya ada 12 rumah, masing-masing rumah
dihuni oleh 4 orang, aku tau sebab semua orang di desa Midhanget muncul dan
melihat aku sambil berdiri didepan rumahnya masing. Aku tersenyum kepada
mereka, dan merekapun juga tersenyum kepadaku.
Aku
lalu berbalik kearah pak Bagyo dan memberi isyarat kalau aku ingin
berkomunikasi. Ia maju sambil mengulurkan papannya dan memberikan batu putih
yang berfungsi seperti kapur kepadaku. “Maaf, saya harus pergi ke kota segera,
bisa tunjukkan saya dimana jalannya,” tulisku.
“Owh,
anda ingin ke kota? Tapi saran saya sebaiknya ditunda besok pagi saja, kalau
malam daerah sini sangat gelap, lampu sepeda motor saja tidak cukup untuk
membantu anda melewati jalannya. Oleh sebab itu warga desa Midhanget hanya
beraktivitas di siang hari, sedangkan malam hari, kami lebih senang di rumah
sambil bercengkerama bersama keluarga,” jawabnya secara mendetail. Orang itu
lalu menawariku untuk makan, karena katanya aku terlihat lemas. Tak terasa, jam
sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku pun makan apa yang mereka suguhkan, nasi
jagung yang diberi sayur lodeh dengan ditambahi sambal, lauknya adalah ikan
wader yang digoreng lama jadi terasa renyah.
Setelah
makan aku lalu berbincang-bincang dengan pak Bagyo tentang desa Midhanget. Dari
sana aku tau kenapa orang-orang di desa tersebut menjadi tak memiliki telinga.
Menurut mitos, nenek moyang mereka dahulu adalah penghuni kerajaan langit.
Nenek moyang mereka diusir sebab mereka sering menguping pembicaraan kaisar
langit dan menyebarkan ke penghuni kerajaan langit lainnya. Akibatnya, nenek
moyang mereka dikutuk kalau keturunannya tidak akan memiliki telinga sampai
berakhirnya dunia. Ada banyak pertanyaan yang aku tanyakan kepada pak Bagyo
yang menjawabnya dengan penuh antusias dan rasa kekeluargaan yang hebat. Tak
terasa, waktu menunjukkan pukul 01.00 malam, aku pamit tidur kepada pak Bagyo
yang lalu menunjukkan kamar tidur yang bisa aku tempati.
Keesokan
harinya pak Bagyo membangunkanku sekitar pukul 08.00 pagi. Dia lalu
mempersilahkan aku untuk mandi, setelah itu mengajak aku makan. Pukul 09.00 pak
Bagyo dan penduduk desa Midhanget mengantarkan aku ke jalan setapak yang akan
membawaku kembali ke jalan utama “rute
setan.” Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas keramahan
mereka, aku pun berangkat. Dalam hati aku bertekad untuk menghapus semua mitos
tentang rute setan yang ada selama ini. Benar juga apa kata pak Bagyo, jalan
setapak itu membawaku ke jalan utama, aku lalu mengikuti jalan utama itu untuk
menuju ke kota. Setelah berapa lama berjalan, aku kembali dikejutkan dengan
adanya jalan bercabang, aku pun kembali dibuat bingung olehnya. Intuisiku yang
pertama boleh salah, namun intuisiku yang kedua tidak akan salah. Aku putuskan
untuk mengambil jalan yang sebalah kiri.
Seperti
déjà vu, intuisiku kembali salah, jalanan ini tidak menuju ke kota, karna jalan
ini kembali menurun. Kembali aku mengulangi hal yang sama, aku harus kembali ke
jalan utama lagi. Entah nasibku sedang sial, atau apalah namanya, si benik
kembali mogok. Seperti kejadian yang sudah bisa ditebak, aku kembali disapa
seseorang, lalu aku jatuh pingsan, dan dibawa ke tempat orang yang menyapaku
itu. Saat aku sadar dari pingsan, aku tidaklah takut, aku lihat mereka, dan aku
melihat mereka semua sama, mereka adalah manusia, sayangnya mereka tidak punya
mata. Aku juga berpikir kenapa aku harus pingsan saat melihat mereka. Toh
mereka bukan orang jahat, mereka adalah orang baik.
Sama
seperti kejadian di desa Midhanget, aku diminta untuk tidak meneruskan
perjalanan malam ini tapi besok pagi saja. Di desa yang kemudian aku tahu
namanya adalah desa Mriksani (Mriksani adalah bahasa Jawa yang berarti
“melihat”), semua orang didesa itu memakai satu aksesori yang sama, yaitu
gelang kaki dengan bandul lonceng. Menurut pak Sugeng (nama orang yang menyapaku
di jalan sebelum aku pingsan tadi), penduduk di desa Mriksani daya
pendengarannya sangat tajam, mereka bisa mendengar suara lonecng dari jarak
jauh dan tahu itu siapa. Oleh sebab itu, penduduk desa ini tidak memerlukan
tongkat untuk membantu mereka berjalan. Pendengaran mereka sudah lebih dari
cukup sebagai bantuan untuk berjalan. Dari pak Sugeng aku mendengar legenda
dari desa Mriksani. Nenek moyang mereka juga adalah penduduk kahyangan. Nenek
moyang mereka diusir dan dikutuk memiliki keturunan yang tidak akan memiliki
mata sampai dunia musnah. Hal ini disebabkan kesalahan nenek moyang mereka yang
suka mengintip kegiatan penghuni istana kahyangan. Tak terasa perbincanganku
dengan pak sugeng berlangsung hingga pukul 01.00. Aku pamit kepada si empunya rumah
untuk istirahat dan beliau menujukkan kamar yang bisa kugunakan.
Sama
seperti dengan kejadian di desa Midhanget, kali ini pak Sugeng yang
membangunkanku pukul 08.00 pagi. Setelah mandi dan makan, aku lalu berpamitan
dan berterima kasih kepada seluruh penduduk desa Mriksani (jumlahnya sama
persis dengan penduduk di desa sebelumnya) yang sengaja mengantarku ke jalan
setapak yang akan membawaku menuju jalan utama rute setan.
Aku
pun menggeber si benik kembali ke jalan utama rute setan. Kali ini,
dalam hatiku aku bertekad untuk tidak akan pingsan lagi jika aku mengalami
kejadian yang serupa. Tak dinyana ku kembali dihadapkan dengan jalan bercabang.
Aku ambil saja jalan sebelah kiri, aku tidak lagi menggunakan intuisi, aku
ambil jalan sekenanya saja. Aku tak peduli jika nanti ketemu makhluk aneh lagi,
aku tidak akan pingsan. Tapi, harapan tinggallah harapan, aku mengalami
kejadian serupa seperti kejadian-kejadian sebelumnya, dan ternyata aku tetap
pingsan (mungkin aku terlalu penakut hingga sering pingsan, hehehehe).
Kembali
aku dibawa ke sebuah rumah dari penduduk desa yang aku temui di jalan rute
setan tadi. Kali ini, aku menemui manusia yang sama denganku, hanya sayangnya
mereka tidak memiliki mulut. Rutinitas yang kulalui didesa ini hampir sama
dengan dua desa sebelumnya. Disini, aku menjadi tamu bagi pak Welas. Dari
beliau aku tahu nama desa ini adalah Ngendika (bahasa Jawa yang artinya
“berkata”). Sama seperti penduduk Midhanget, penduduk desa Ngendika
berkomunikasi dengan papan dan kapur tulis.
Dari
pak welas, aku tahu kalau nenek moyang penduduk desa Ngendika adalah penghuni
nirwana yang diusir dari sana dan dikutuk untuk memiliki keturunan tanpa mulut.
Semua itu terjadi karena nenek moyang tersebut suka berbohong, berkata kotor,
dan memfitnah. Kali ini, aku pun bercengkerama dengan pak Welas hingga pukul
01.00. Aku pun kembali tidur dengan nyenyak hingga pak welas membangunkanku.
Sekali lagi, aku diantar penduduk desa Ngendika (jumlah penduduknya sekali lagi
sama persis dengan kedua desa sebelumnya) ke jalan setapak. Tanpa aku beritahu,
mungkin pembaca sudah bisa menebak kalau jalan itu menuju ke jalan utama rute
setan. Setelah berpamitan dan berterima kasih, aku melanjutkan perjalananku ke
kota.
Sesampainya
aku di rute setan, aku tidak peduli lagi jika aku bertemu dengan jalan
bercabang, makhluk aneh, pingsan, dll, aku tidak peduli lagi, yang penting aku
sampai kota. Ternyata, kekuatan pikiran memang sangat besar, ketika aku
berpikir sesuatu yang buruk, hal itu justru akan terjadi. Namun, saat aku tidak
memikirkannya, hal tersebut tidak terjadi. Sudah lama aku berjalan aku tidak
menemui jalan bercabang. Dan samar-samar aku mendengar deru kendaraan yang
terasa semakin dekat dan jumlahnya banyak. Aku segera mempercepat laju si benk,
dan betul saja, aku kini bisa melihat jalan utama rute pertama.
Perjalanan
pagi itu menjadi tidak menarik, karna aku hanya mengurus surat-surat di balai
kota hingga menjelang siang. Setelah semua selesai, aku memutuskan untuk
pulang. Aku putuskan untuk pulang melelui rute setan itu kembali. Saat sedang
asyik mengendarai si benik, samar-samar aku mendengar suara orang yang aku
kenal. Lambat laun, suara itu semakin jelas.
“Ang,
A’ang, cepat bangun, katanya mau ke kota,” ujar suara yang ternyata suara ibuku
sambil menggoyang-goyang tubuhku. Pelan-pelan aku buka mataku, dan bertanya
dalam hati benarkah kejadian yang aku alami selama beberapa hari itu hanyalah
mimpi. Tapi kenapa itu semua terasa nyata? Aku pun menjalankan aktivitas dengan
sejuta tanya dalam benakku. Setelah mempersiapkan segala keperluanku menuju
kota, aku pun berangkat. Aku dengan sengaja untuk menempuh rute kedua alias
rute setan untuk menuntaskan rasa penasaranku sekaligus mencari jawaban atas
mimpiku. Orang-orang yang saat itu sedang asyik ngopi di warung yang ada di
ujung jalan menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin mereka berpikir,
berani-beraninya aku melalui rute misterius tersebut.
Namun
ternyata mitos tentang rute setan itu tidak terbukti sama sekali. Dan mimpiku
tentang jalan misterius tersebut tetap menjadi misteri. Saat aku melewati jalan
itu, aku tau kenapa jalan tersebut jarang dilewati. Selain rimbunan pohon yang
bak hutan yang membuat jalanan kurang penerangan di siang hari, jalannya juga tidak
mulus, banyak sekali lubang disana-sini. Jika kita tidak berhati-hati, maka
bisa terjadi kecelakaan. Jika di mimpiku aku bertemu jalan bercabang, maka di
rute ini, aku tidak menemuinya sama sekali. Dalam perjalananku, aku terus
berpikir tentang apa arti mimpiku.
0 comments: