Dilema cinta si taat dan si murtad

0
2:34 PM
Amarahku memuncak, dadaku bergemuruh ditalu oleh rasa sakit yang kurasakan. Bagiku apa yang kudengar barusan adalah sebuah penghinaan. Penghinaan terhadap apa yang kuanggap suci selama ini. Namun, dibalik amarahku, ada rasa iba pada sosok bidadari cantik yang ada didepanku. Dia tampak berusaha tegar, meski kutahu batinnya menggelepar, yang bisa aku tau dari bibirnya yang bergetar. Sebuah pertanda kalau si empunya bibir berusaha menahan sesuatu.

“Kok bisa itu terjadi A?” tanyaku dengan penuh amarah.


“Aku tak tau L, semua terjadi begitu saja,” ujar bidadari cantik bernama Awin itu.


“Lalu A diam aja, apa A tidak berusaha memberontak?” tanyaku lagi seperti seorang petugas polisi yang sedang menginterogasi tersangka.


“Apa yang bisa kuperbuat L, mereka yang mempunyai hak, mereka berhak melakukan itu padaku,” jawab A.


Ah, ada perasaan bersalah didalam hatiku karena telah menydutkannya dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Padahal aku tau, seharusnya dia yang marah, dia yang seharusnya memakiku karena membawa kesengsaraan dalam hidupnya.



"Ok, ajak aku menemui mereka A, biar aku selesaikan semua ini,” ujarku kepada Awin memberikan sebuah alternatif jalan keluar.

“Nggak usah L, ntar malah tambah runyam,” jawabnya enggan menatap mataku. Aku tau kenapa dia tak mau menatap mataku saat berbicara. Mataku telah memerah karna marah, harga diriku diinjak-injak oleh pengusiran bapak dan ibu kost terhadap kekasihku itu.

“Tidak, temani aku untuk menemui mereka,” ujarku dengan tegas sambil menyuruhnya naik ke boncengan sepedaku. Dia tampak ragu, namun segera melakukannya ketika tatapan mataku dengan garang menusuk bola mata bidadari yang cantik itu.

Aku lalu mengayuh sepeda menuju bekas kost-kostan Awin, kekasih hatiku. Sesampai disana, aku buru-buru memarkir sepedaku, karna hormon adrenalin dan rasa amarah membuatku ingin segera mengakhiri segalanya. Aku mengetuk pintu rumah mantan bapak dan ibu kost A dengan sedikit keras. Tak berselang lama, seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh membuka mati. Ia tampak ramah saat pertama kali membuka pintu, namun semua ekspresi ramah itu berubah menjadi kebencian begitu melihatku.

“Ada apa?” ujar wanita paruh baya itu dengan ketus.

“Maaf bu, ada waktu sebentar, saya ingin berbicara dengan bapak dan ibu,” ujarku dengan nada yang juga tidak kalah ketusnya, namun masih berusaha menghormati dia yang lebih tua dariku.

“Emang ada masalah apa, saya tidak ada waktu untuk kalian,” ujarnya hendak menutup pintu. Namun, saat ia hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara satu orang lagi.

“Siapa ummi? Kenapa tidak dipersilahkan masuk,” ujar suara seorang laki-laki yang terdengar semakin dekat.

“Ini si Awin ama pacarnya,” ujar ibu paruh baya tersebut dengan nada penuh kejengkelan saat menyebut kata “pacarnya.”

“Owh, suruh masuk saja. Ada tamu, tidak baik kita menolak mereka,” ujar laki-laki tersebut, lalu melihat ke arah kami dan mempersilahkan kami masuk. Akhirnya aku dan Awin dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu bapak dan ibu kost.

“Ada apa ya nak Awin dan pacarnya datang kesini?” tanya bapak kost tersebut dengan penuh kelembutan.

“Maaf pak sebelumnya jika saya mengganggu waktu istirahat bapak dan ibu di siang hari ini. Tapi kedatangan kami kesini adalah untuk memperjelas masalah yang dialami Awin kemarin agar tidak ada kesalahpahaman,” jawabku dengan nada yang juga lemah lembut mengingat sang bapak juga menyampaikan dengan anda yang lembut.

“Saya rasa tidak ada yang perlu dijelaskan lagi masalah kemarin. Kami berdua sepakat kalau kost ini tidak bisa lagi menampung nak Awin karena suatu alasan,” ujar si ibu dengan nada ketus.

“Alasannya apa bu? Apakah karena saya? Apakah karena Awin berpacaran dengan saya yang seorang Buddhis,” jawabku dengan intonasi yang sedikit keras. Mereka tampak berpikir, aku tahu mereka sedang mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaanku.

“Anda tidak perlu tahu alasannya. Saya sebagai pemilik kost punya hak untuk menerima ataupun tidak menerima siapapun yang hendak menjadi penghuni kost disini,” kembali si ibu kost berujar dengan ketusnya.

Saya tersenyum lalu menjawab dengan penuh kelembutan sebab saat saya hendak menjawab dengan nada tinggi, tangan bidadari cantik itu mengusap punggung tanganku dengan lembut, sekan meminta agar aku tidak terbawa emosi. “Ibu, saya itu adalah hak anda, ini rumah anda. Tapi, sebagai penghuni kost, Awin juga berhak untuk berthana, setidaknya sampai tanggal jatuh tempo pembayaran.”

“Saya khan sudah mengembalikan uag kost nak Awin dengan utuh,” ujar ibu itu kembali, masih dengan nada ketus.

“Ini bukan masalah uang itu ibu kembalikan atau tidak. Tapi ini masalah ibu menghargai Awin atau tidak. Bolehlah kalau ibu mengusir kekasih saya karena tindakannya yang melanggar hukum, saya tidak akan keberatan. Namun jika anda mengusir dia karena dia berpacaran dengan saya yang tidak seiman dengan anda sekeluarga dan dia, maaf kalau saya kemudian menyebut itu sebagai tindakan yang kekanak-kanakkan,” jawabku sambil memegang tangan Awin dengan erat.

Si ibu kost hendak menyanggah pendapatku, namun tiba-tiba sang suami menarik tangannya, dan menggelengkan kepala. Ia lalu memajukan badannya sedikit kearah saya, sedikit terbatuk setelah itu dia terlihat ingin mengucapkan sesuatu. “Sebelumnya saya minta maaf kalau apa yang diperbuat oleh istri saya kemarin menyakitkan bagi nak Awin dan pacarnya, nak siapa namanya? Tadi lupa berkenalan soalnya,” ujar bapak itu.

“Owh iya pak, maaf tadi saya terburu-buru hingga lupa mengenalkan nama saya. Saya Lukman pak,” jawab saya dengan tersenyum sambil menjabat tangan si bapak lalu menaruh tangan didada sambil tersenyum ke arah ibu. Saya melakukannya karena menghormati si ibu yang tidak mau bersalaman dengan seseorang yang bukan mukhrimnya. Saat itu aku sempat melihat ke arah dalam rumah, disana saya nampak gerombolan beberapa orang yang sepertinya ngin mendengar percakapan kami. Saat aku melihat ke arah mereka, mereka tampak gelagapan.

“Sekali lagi maaf nak Lukman atas kejadian kemarin. Saya akui kalau sikap istri saya kemarin terlalu gegabah, namun nasi sudah menjadi bubur, segalanya sudah terjadi. Saya tidak setuju sikap ibu, namun disi lain saya bisa mengerti kegundahan hati ibu jika melihat saudara seiman menjalin hubungan dengan maaf non muslim. Saya harap anda bisa mengerti pemikiran kami, karena ini akidah kami. Jika kami tidak bisa menjaga akidah kami, lalu siapa lagi yang bisa menjaganya,” ujar bapak kost kepada saya dengan bijak.

“Bapak, saya bisa mengerti jika hal itu disampaikan dengan baik-baik, bukan langsung menjustifikasi. Saya mengerti tentang akidah anda yang melarang hubungan beda agama, terutama bagi pihak wanita. Namun, saya Cuma ingin menegaskan kalau ketakutan yang dikhawatirkan ibu dan teman-teman Awin terlalu berlebihan. Kami berpacaran, bukan atas dasar ingin menjadikan salah satu pasangan memeluk agama yang dianut salah satu dari kami, tidak sama sekali. Kami berpacaran karena kami saling mencintai. Kami sudah berkomitmen masalah keyakinan adalah masalah pribadi lepas pribadi,” jawabku berusaha menjelaskan sambil terus menggenggam tangan bidadari tercantikku yang sedari tadi menundukkan wajahnya.

“Iya, kami bisa mengerti itu. Tapi apakah kalian sudah memikirkannya matang-matang. Bagaimana dengan nasib anak-anak kalian kelak,” tanya si bapa kost.

Kali ini, tiba-tiba Awin mengangkat wajahnya dan melihat ke arah bapak dan ibu kostnya. “Bapak dan ibu, anda percaya kalau cinta itu yang memberikan itu Allah? Jika anda berdua percaya, maka anda harus percaya kalau rasa cinta yang kami berdua adalah juga pemberian Allah. Saya menerima Lukman menjadi pacar saya bukan tanpa pertimbangan. Saya sudah menjalankan sholat Istikharah dan meminta petunjuk dari Allah sebelum menerima Lukman. Dan ternyata, Allah memberikan petunjuk kalau Lukman bisa jadi pemimpin saya, terlepas dengan segala perbedaan yang ada diantara kami. Bapak dan ibu mesti tahu, kami beda agama, saya muslim, Lukman Buddha, namun kami tidak pernah risau akan hal tersebut. Masalah kedepan kami sudah memperbincangkannya. Kami sudah sepakat untuk saling menghargai. Makanya setiap kali datang waktunya sholat dan saya belum bersiap-siap, Lukman selalu mengingatkan saya. Dan begitu juga sebaliknya, saat dia belum meditasi, maka sudah tugas saya untuk mengingatkan dia. Kami berpacaran bukan untuk sekedar main-main, kami sudah mempertimbangkan konsekuensinya. Untuk masalah keyakinan anak, kami memberikan kebebasan sepenuhnya apakah dia akan memilih agama ayahnya atau ibunya, bahkan kami berdua siap jika dia tidak memilih dua-duanya atau memiliki pilihan sendiri,” ujarnya penuh kemantapan. Saat itu, ingin sekali aku mencium keningnya sebagai sebuah pertanda betapa aku sangat mencintainya dan bangga sekali dia memilihku diantara pria-pria lainnya.

Sang bapak dan ibu tidak mengira akan mendapat jawaban seperti itu dari Awin, bocah yang selama ini dianggap polos, gadis yang dianggap belum bisa menentukan pilihan, hanya sekedar ikut-ikutan. “Ba….baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan kalian berdua. Namun, sekali lagi kami mohon maaf kalau keputusan kami tetap, kalau nak Awin tidak bisa kost disini lagi,” ujar si bapak kost.

“Iya pak, saya juga minta maaf kalo saya ada salah selama tinggal disini,” jawab Awin dengan mantap.

Karena saat itu hampir menjelang ashar, maka kami segera berpamitan kepada si empunya rumah.

“Bapak, ibu, kami berdua mohon pamit dulu,” ujar saya. “Assalamualaikum,” sambung Awin.

“Wa…….waalaikum salam,” jawab bapak dan ibu hampir berbarengan.

Kami pulang dengan perasaan lega, dan kami pun melangkah dengan mempererat gandenga tangan kami sekaligus sebagai sebuah kemenangan bahwa cinta kami bisa melewati ujian pertamanya dengan sukses.

Keesokan harinya, aku menemui teman-teman A di kampus. Bersama Awin, aku katakan kepada mereka untuk jangan jadi pengecut. Jika tidak suka denganku, langsung saja ngomong didepanku. Aku tidak marah, justru sikap pengecut yang menggunjingku dibelakangkulah yang membuatku marah. Apalagi sampai membikin surat kaleng berisi fitnahan hanya untuk membuat kami berdua putus.

1 tahun kemudian, aku dan A menikah. Kami sudah sepakat untuk menggunakan cara Islam, hanya untuk mempermudah administrasi dan upacar perkawinan saja. Apalagi saat itu KTPku masih berstatus Islam dan permohonanku mengganti agama menjadi Buddha dipersulit oleh pihak-pihak yang terkait. Kami senang dengan kehidupan pernikahan kami, kami tidak pedulikan lagi anggapan orang tentang kami berdua. Entah ini sebuah pelajaran bagi kami, atau apa, kami mendengar salah satu teman Awin yang dulu memfitnahnya ditinggalkan suaminya saat sedang hamil. Hal itu membuat kami bersyukur dengan pernikahan kami.

“L, ternyata, pernikahan satu agama tidak menjamin langgengnya suatu pernikahan ya,” ujar A di malam itu saat kami merayakan 2 tahun hubungan kami di salah satu cafĂ© di kawasan Payung, Batu. Sebuah tempat yang tak mungkin kami lupakan, tempat dimana aku “menembak” Awin, dan kami memutuskan untuk mengikat janji untuk selalu bersama. Aku pun hanya tersenyum sambil menggenggam tangannya semakin erat dan mengecup mesra keningnya.

Kami pun hidup dengan bahagia dengan riak-riak kecil yang tak mungkin bisa dihindari dalam sebuah biduk rumah tangga. Namun,kisah cinta kami mampu mengalahkan segalanya. Perbedaan kita justru memperkuat cinta kami, perbedaan itu menciptakan keindahan jika kita mau menghargainya.

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: