Dilema cinta si taat dan si murtad
0
Amarahku memuncak, dadaku bergemuruh ditalu oleh rasa sakit yang kurasakan. Bagiku apa yang kudengar barusan adalah sebuah penghinaan. Penghinaan terhadap apa yang kuanggap suci selama ini. Namun, dibalik amarahku, ada rasa iba pada sosok bidadari cantik yang ada didepanku. Dia tampak berusaha tegar, meski kutahu batinnya menggelepar, yang bisa aku tau dari bibirnya yang bergetar. Sebuah pertanda kalau si empunya bibir berusaha menahan sesuatu.
“Kok bisa itu terjadi A?” tanyaku dengan penuh amarah.
“Aku tak tau L, semua terjadi begitu saja,” ujar bidadari cantik bernama Awin itu.
“Lalu A diam aja, apa A tidak berusaha memberontak?” tanyaku lagi seperti seorang petugas polisi yang sedang menginterogasi tersangka.
“Apa yang bisa kuperbuat L, mereka yang mempunyai hak, mereka berhak melakukan itu padaku,” jawab A.
Ah, ada perasaan bersalah didalam hatiku karena telah menydutkannya dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Padahal aku tau, seharusnya dia yang marah, dia yang seharusnya memakiku karena membawa kesengsaraan dalam hidupnya.
"Ok, ajak aku menemui mereka A, biar aku selesaikan semua ini,” ujarku kepada Awin memberikan sebuah alternatif jalan keluar.
Kami pun hidup dengan
bahagia dengan riak-riak kecil yang tak mungkin bisa dihindari dalam sebuah
biduk rumah tangga. Namun,kisah cinta kami mampu mengalahkan segalanya. Perbedaan
kita justru memperkuat cinta kami, perbedaan itu menciptakan keindahan jika
kita mau menghargainya.
“Kok bisa itu terjadi A?” tanyaku dengan penuh amarah.
“Aku tak tau L, semua terjadi begitu saja,” ujar bidadari cantik bernama Awin itu.
“Lalu A diam aja, apa A tidak berusaha memberontak?” tanyaku lagi seperti seorang petugas polisi yang sedang menginterogasi tersangka.
“Apa yang bisa kuperbuat L, mereka yang mempunyai hak, mereka berhak melakukan itu padaku,” jawab A.
Ah, ada perasaan bersalah didalam hatiku karena telah menydutkannya dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Padahal aku tau, seharusnya dia yang marah, dia yang seharusnya memakiku karena membawa kesengsaraan dalam hidupnya.
"Ok, ajak aku menemui mereka A, biar aku selesaikan semua ini,” ujarku kepada Awin memberikan sebuah alternatif jalan keluar.
“Nggak usah L, ntar malah
tambah runyam,” jawabnya enggan menatap mataku. Aku tau kenapa dia tak mau
menatap mataku saat berbicara. Mataku telah memerah karna marah, harga diriku
diinjak-injak oleh pengusiran bapak dan ibu kost terhadap kekasihku itu.
“Tidak, temani aku untuk
menemui mereka,” ujarku dengan tegas sambil menyuruhnya naik ke boncengan
sepedaku. Dia tampak ragu, namun segera melakukannya ketika tatapan mataku
dengan garang menusuk bola mata bidadari yang cantik itu.
Aku lalu mengayuh sepeda
menuju bekas kost-kostan Awin, kekasih hatiku. Sesampai disana, aku buru-buru
memarkir sepedaku, karna hormon adrenalin dan rasa amarah membuatku ingin
segera mengakhiri segalanya. Aku mengetuk pintu rumah mantan bapak dan ibu kost
A dengan sedikit keras. Tak berselang lama, seorang wanita paruh baya
tergopoh-gopoh membuka mati. Ia tampak ramah saat pertama kali membuka pintu,
namun semua ekspresi ramah itu berubah menjadi kebencian begitu melihatku.
“Ada apa?” ujar wanita
paruh baya itu dengan ketus.
“Maaf bu, ada waktu
sebentar, saya ingin berbicara dengan bapak dan ibu,” ujarku dengan nada yang
juga tidak kalah ketusnya, namun masih berusaha menghormati dia yang lebih tua
dariku.
“Emang ada masalah apa,
saya tidak ada waktu untuk kalian,” ujarnya hendak menutup pintu. Namun, saat
ia hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara satu orang lagi.
“Siapa ummi? Kenapa tidak
dipersilahkan masuk,” ujar suara seorang laki-laki yang terdengar semakin
dekat.
“Ini si Awin ama
pacarnya,” ujar ibu paruh baya tersebut dengan nada penuh kejengkelan saat
menyebut kata “pacarnya.”
“Owh, suruh masuk saja.
Ada tamu, tidak baik kita menolak mereka,” ujar laki-laki tersebut, lalu
melihat ke arah kami dan mempersilahkan kami masuk. Akhirnya aku dan Awin
dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu bapak dan ibu kost.
“Ada apa ya nak Awin dan
pacarnya datang kesini?” tanya bapak kost tersebut dengan penuh kelembutan.
“Maaf pak sebelumnya jika
saya mengganggu waktu istirahat bapak dan ibu di siang hari ini. Tapi
kedatangan kami kesini adalah untuk memperjelas masalah yang dialami Awin kemarin
agar tidak ada kesalahpahaman,” jawabku dengan nada yang juga lemah lembut
mengingat sang bapak juga menyampaikan dengan anda yang lembut.
“Saya rasa tidak ada yang
perlu dijelaskan lagi masalah kemarin. Kami berdua sepakat kalau kost ini tidak
bisa lagi menampung nak Awin karena suatu alasan,” ujar si ibu dengan nada
ketus.
“Alasannya apa bu? Apakah
karena saya? Apakah karena Awin berpacaran dengan saya yang seorang Buddhis,”
jawabku dengan intonasi yang sedikit keras. Mereka tampak berpikir, aku tahu
mereka sedang mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaanku.
“Anda tidak perlu tahu
alasannya. Saya sebagai pemilik kost punya hak untuk menerima ataupun tidak
menerima siapapun yang hendak menjadi penghuni kost disini,” kembali si ibu
kost berujar dengan ketusnya.
Saya tersenyum lalu
menjawab dengan penuh kelembutan sebab saat saya hendak menjawab dengan nada
tinggi, tangan bidadari cantik itu mengusap punggung tanganku dengan lembut,
sekan meminta agar aku tidak terbawa emosi. “Ibu, saya itu adalah hak anda, ini
rumah anda. Tapi, sebagai penghuni kost, Awin juga berhak untuk berthana,
setidaknya sampai tanggal jatuh tempo pembayaran.”
“Saya khan sudah
mengembalikan uag kost nak Awin dengan utuh,” ujar ibu itu kembali, masih
dengan nada ketus.
“Ini bukan masalah uang
itu ibu kembalikan atau tidak. Tapi ini masalah ibu menghargai Awin atau tidak.
Bolehlah kalau ibu mengusir kekasih saya karena tindakannya yang melanggar
hukum, saya tidak akan keberatan. Namun jika anda mengusir dia karena dia
berpacaran dengan saya yang tidak seiman dengan anda sekeluarga dan dia, maaf
kalau saya kemudian menyebut itu sebagai tindakan yang kekanak-kanakkan,”
jawabku sambil memegang tangan Awin dengan erat.
Si ibu kost hendak
menyanggah pendapatku, namun tiba-tiba sang suami menarik tangannya, dan
menggelengkan kepala. Ia lalu memajukan badannya sedikit kearah saya, sedikit
terbatuk setelah itu dia terlihat ingin mengucapkan sesuatu. “Sebelumnya saya
minta maaf kalau apa yang diperbuat oleh istri saya kemarin menyakitkan bagi
nak Awin dan pacarnya, nak siapa namanya? Tadi lupa berkenalan soalnya,” ujar
bapak itu.
“Owh iya pak, maaf tadi
saya terburu-buru hingga lupa mengenalkan nama saya. Saya Lukman pak,” jawab
saya dengan tersenyum sambil menjabat tangan si bapak lalu menaruh tangan
didada sambil tersenyum ke arah ibu. Saya melakukannya karena menghormati si
ibu yang tidak mau bersalaman dengan seseorang yang bukan mukhrimnya. Saat itu
aku sempat melihat ke arah dalam rumah, disana saya nampak gerombolan beberapa
orang yang sepertinya ngin mendengar percakapan kami. Saat aku melihat ke arah
mereka, mereka tampak gelagapan.
“Sekali lagi maaf nak
Lukman atas kejadian kemarin. Saya akui kalau sikap istri saya kemarin terlalu
gegabah, namun nasi sudah menjadi bubur, segalanya sudah terjadi. Saya tidak
setuju sikap ibu, namun disi lain saya bisa mengerti kegundahan hati ibu jika
melihat saudara seiman menjalin hubungan dengan maaf non muslim. Saya harap
anda bisa mengerti pemikiran kami, karena ini akidah kami. Jika kami tidak bisa
menjaga akidah kami, lalu siapa lagi yang bisa menjaganya,” ujar bapak kost
kepada saya dengan bijak.
“Bapak, saya bisa mengerti
jika hal itu disampaikan dengan baik-baik, bukan langsung menjustifikasi. Saya
mengerti tentang akidah anda yang melarang hubungan beda agama, terutama bagi
pihak wanita. Namun, saya Cuma ingin menegaskan kalau ketakutan yang
dikhawatirkan ibu dan teman-teman Awin terlalu berlebihan. Kami berpacaran,
bukan atas dasar ingin menjadikan salah satu pasangan memeluk agama yang dianut
salah satu dari kami, tidak sama sekali. Kami berpacaran karena kami saling
mencintai. Kami sudah berkomitmen masalah keyakinan adalah masalah pribadi
lepas pribadi,” jawabku berusaha menjelaskan sambil terus menggenggam tangan bidadari
tercantikku yang sedari tadi menundukkan wajahnya.
“Iya, kami bisa mengerti
itu. Tapi apakah kalian sudah memikirkannya matang-matang. Bagaimana dengan
nasib anak-anak kalian kelak,” tanya si bapa kost.
Kali ini, tiba-tiba Awin
mengangkat wajahnya dan melihat ke arah bapak dan ibu kostnya. “Bapak dan ibu,
anda percaya kalau cinta itu yang memberikan itu Allah? Jika anda berdua
percaya, maka anda harus percaya kalau rasa cinta yang kami berdua adalah juga pemberian
Allah. Saya menerima Lukman menjadi pacar saya bukan tanpa pertimbangan. Saya
sudah menjalankan sholat Istikharah dan meminta petunjuk dari Allah sebelum
menerima Lukman. Dan ternyata, Allah memberikan petunjuk kalau Lukman bisa jadi
pemimpin saya, terlepas dengan segala perbedaan yang ada diantara kami. Bapak
dan ibu mesti tahu, kami beda agama, saya muslim, Lukman Buddha, namun kami
tidak pernah risau akan hal tersebut. Masalah kedepan kami sudah
memperbincangkannya. Kami sudah sepakat untuk saling menghargai. Makanya setiap
kali datang waktunya sholat dan saya belum bersiap-siap, Lukman selalu
mengingatkan saya. Dan begitu juga sebaliknya, saat dia belum meditasi, maka
sudah tugas saya untuk mengingatkan dia. Kami berpacaran bukan untuk sekedar main-main,
kami sudah mempertimbangkan konsekuensinya. Untuk masalah keyakinan anak, kami
memberikan kebebasan sepenuhnya apakah dia akan memilih agama ayahnya atau
ibunya, bahkan kami berdua siap jika dia tidak memilih dua-duanya atau memiliki
pilihan sendiri,” ujarnya penuh kemantapan. Saat itu, ingin sekali aku mencium
keningnya sebagai sebuah pertanda betapa aku sangat mencintainya dan bangga
sekali dia memilihku diantara pria-pria lainnya.
Sang bapak dan ibu tidak
mengira akan mendapat jawaban seperti itu dari Awin, bocah yang selama ini
dianggap polos, gadis yang dianggap belum bisa menentukan pilihan, hanya
sekedar ikut-ikutan. “Ba….baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan kalian
berdua. Namun, sekali lagi kami mohon maaf kalau keputusan kami tetap, kalau
nak Awin tidak bisa kost disini lagi,” ujar si bapak kost.
“Iya pak, saya juga minta
maaf kalo saya ada salah selama tinggal disini,” jawab Awin dengan mantap.
Karena saat itu hampir
menjelang ashar, maka kami segera berpamitan kepada si empunya rumah.
“Bapak, ibu, kami berdua
mohon pamit dulu,” ujar saya. “Assalamualaikum,” sambung Awin.
“Wa…….waalaikum salam,”
jawab bapak dan ibu hampir berbarengan.
Kami pulang dengan
perasaan lega, dan kami pun melangkah dengan mempererat gandenga tangan kami
sekaligus sebagai sebuah kemenangan bahwa cinta kami bisa melewati ujian
pertamanya dengan sukses.
Keesokan harinya, aku
menemui teman-teman A di kampus. Bersama Awin, aku katakan kepada mereka untuk
jangan jadi pengecut. Jika tidak suka denganku, langsung saja ngomong
didepanku. Aku tidak marah, justru sikap pengecut yang menggunjingku
dibelakangkulah yang membuatku marah. Apalagi sampai membikin surat kaleng berisi
fitnahan hanya untuk membuat kami berdua putus.
1 tahun kemudian, aku dan
A menikah. Kami sudah sepakat untuk menggunakan cara Islam, hanya untuk
mempermudah administrasi dan upacar perkawinan saja. Apalagi saat itu KTPku
masih berstatus Islam dan permohonanku mengganti agama menjadi Buddha
dipersulit oleh pihak-pihak yang terkait. Kami senang dengan kehidupan
pernikahan kami, kami tidak pedulikan lagi anggapan orang tentang kami berdua.
Entah ini sebuah pelajaran bagi kami, atau apa, kami mendengar salah satu teman
Awin yang dulu memfitnahnya ditinggalkan suaminya saat sedang hamil. Hal itu
membuat kami bersyukur dengan pernikahan kami.
“L, ternyata, pernikahan
satu agama tidak menjamin langgengnya suatu pernikahan ya,” ujar A di malam itu
saat kami merayakan 2 tahun hubungan kami di salah satu café di kawasan Payung,
Batu. Sebuah tempat yang tak mungkin kami lupakan, tempat dimana aku “menembak”
Awin, dan kami memutuskan untuk mengikat janji untuk selalu bersama. Aku pun
hanya tersenyum sambil menggenggam tangannya semakin erat dan mengecup mesra
keningnya.
0 comments: