Aku Bangga Menjadi PKI (Pelopor Kebangkitan Indonesia)

0
5:07 PM
“Lu gila ya Las?” umpatku spontan setengah tak percaya ketika melihat sahabatku itu datang ke kamar kostku. Ia hanya tersenyum setengah meledek sambil membusungkan dadanya yang semakin menampakkan sumber kekagetanku. Belum hilang rasa yang entah aku sendiri tak tahu bagaimana menjabarkannya, antara kaget, takut, marah, dan kagum bercampur menjadi satu, ia berseloroh, “Bagus khan?” sambil tersenyum penuh ceria. Kualihkan pandanganku kebawah lehernya, sebuah kaos warna hitam yang melekat pada tubuh cekingnya membuatku geleng kepala. Bukan karena kaosnya yang membuatku bereaksi tak keruan seperti ini, tapi tulisan yang ada di kaos itu yang membuatku mengatainya gila.

“Aku Bangga Menjadi PKI,” begitu bunyi kalimat yang tertera di kaos yang dikenakannya. Tanpa babibu, ia langsung melepas tas ranselnya dan berbalik, dan tulisan di belakang kaos membuatku semakin tak percaya. “I Love PKI” begitu bunyi kalimat yang menurutku sangat kontroversial itu. “Baca bawahnya dodol,” ujarnya sambil menahan tawa. Dalam sebuah tanda kurung tertera sebuah kalimat: PELOPOR KEBANGKITAN INDONESIA. Aku segera menarik lengan sahabatku itu, hingga ia hampir jatuh tersungkur. “Sabar cuy, buru-buru amat kayak sapi yang lagi musim kawin, hahahahaha,” candanya sambil membenarkan posisi duduknya.

“Lu emang sarap Las. Apa sich yang ada di otak lu itu? Apa jangan-jangan otak lu itu udah hilang berpindah ke pantat?” ujarku sambil menghela nafas panjang.

“Relax cuy, jangan kayak orang yang baru ngeliat setan gitu dunk,” balasnya lalu menyeruput kopiku tanpa permisi. Kulihat dia lalu menyalakan sebatang rokok kretek kesayangannya dan menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke mukaku.

Sambil terbatuk-batuk kulemparkan korek ke arahnya, dan dia dengan sigap menangkapnya, lalu terkekeh.
“Hehehehe, aku baru selesai membuatnya kemarin, keren khan desain kaosku ini? Ujarnya tanpa ada rasa takut dalam kalimatnya.

Kuambil nafas dalam-dalam sambil mengatur perasaan yang berkecamuk di otakku tentang sahabatku yang emang terkenal ke”gila”annya ini. “Apa sich yang lu mau Las? Apa lu mau bikin sensasi kayak artis-artis Indonesia? Atau lu mau gaya-gayaan? Apa lu nggak mikir konsekuensinya brai?” ujarku masih dengan nada kesal.

“Hehehehe, tenang boy, apa yang aku lakukan udah aku masak-masak mempertimbangkan dari 28 year my age. Ini adalah bagian dari kontroversi hati karena basicly aku ingin keluar dari segala labil nurani yang menderakan hati. Halah, kenapa gue jadi ikut-ikutan kena sindrome si monyong Vicky,” cerocosnya dengan gaya yang dibuat seintelek mantan tunangan Zaskia Gothik yang sekarang jadi buah bibir di dunia maya.

“Halah, kampret, lu ngomong apaan sich? Lagian lu ama Vicky itu mukanya sebelas duabelas, sama-sama hancur,” candaku sudah mulai bisa mencairkan perasaanku dari perasaan pertama saat melihatnya datang. Las, sahabatku ini memang tahu bagaimana membuat seseorang berubah suasana hati dalam sekejap, aku tak tahu dia belajar dari mana.

“Boy, aku sengaja membuat kaos ini,” ujarnya yang membuat aku fokus lagi pada tulisan kontroversial di kaos hitamnya. Apalagi di bagian belakang kaosnya dibuat simbol yang cukup aneh, sebuah gambar pacul dan gergaji, yang aku sendiri tak mengerti artinya.

“Lu itu ada-ada aja brai, lalu apa tujuanmu dengan itu semua?” ujarku penuh rasa ingin tahu.

Dia tersenyum sekilas lalu menghisap rokoknya dan menyemburkan asapnya ke udara perlahan-lahan. “Tak ada tujuan pasti boy, apa yang salah dengan tulisanku ini?” ucapnya kemudian yang diikuti dengan geraknya menyeruput kopiku.

“Apa yang salah kata lu? Lu bego apa emang udah sinting? Lu tulis PKI cuy, lu tau PKI khan? Organisasi terlarang yang apabila orang sudah terstigma dengan cap merah itu hidupnya bisa sengsara,” ujarku agak marah dengan gaya santainya.

Dia sekali lagi tersenyum sambil melihatku dengan tatapan penuh makna, namun aku tak tahu artinya. “Doktrin emang membahayakan ya cuy. Bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi terinstitusi dengan doktrin itu dan menganggap sesuatu yang diluar doktrin menjadi sesuatu yang tabu,” ungkapnya dengan nafas panjang di akhir kalimatnya.

“Doktrin? PKI maksud lu? Itu bukan doktrin, itu fakta, mereka adalah organisasi yang berbahaya, organisasi yang bisa merongrong falsafah bangsa ini, Pancasila. Mereka melakukan kudeta dengan membantai para jenderal serta warga sipil, putera-puteri terbaik negeri ini Las. Itu bukan doktrin, itu kenyataan,” ujarku berusaha mengembalikan pikiran liarnya. Aku tak tahu apa yang membuat temanku sekarang tertarik dengan PKI, aku rasa dia telah terlampau jauh melangkah menuju jalan yang salah.

“Ya, ya, ya, itu yang ditulis dan diceritakan dalam propaganda Orba, propaganda Suharto cs. Aku tak menyalahkan hal itu. Sudah hal yang lazim jika penguasa saat itulah yang menentukan kebenaran publik yang harus diyakini. Meski…….,” ujarnya dengan kalimat yang terpotong, lalu dia menghela nafas panjang kembali.

“Meski apa? Tidak ada meski, tidak ada tapi, semua itu adalah kenyataan pahit yang telah terjadi di masa lalu yang melukai bangsa ini,” ujarku agak ketus. Aku teringat film “Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu aku tonton setiap tanggal 30 September malam saat aku kecil. Aku begitu benci dan jijik dengan kelakuan anggota partai terkutuk itu yang membunuh orang tak berdosa dengan cara-cara yang keji.

“Ya sudahlah cuy, aku tak ingin berdebat. Aku cuma ingin mampir buat ngembalikin CD bokep yang gw pinjam minggu lalu, hehehehe,” ujarnya sambil terkekeh kearahku. Sekejap, dia mengeluarkan dua CD, yang satu aku tau adalah punyaku, yang satu aku tak tahu apa isinya.

“Ini apa?” ujarku sambil mengangkat CD kedua yang diberikannya padaku.

“Hehehehe, film asyik cuy, pasti lu suka, hehehe. Ya udah gw balik dulu,” ujarnya ringan lalu segera bangkit dan menggendong tasnya. Kuantarkan dia ke depan kost-kostanku. Ia segera mengayuh sepeda bututnya, lalu pergi sambil melambaikan tangannya bak kontestan Miss World, sebuah ajang kontes kecantikan yang sekarang lagi ramai diperbincangkan akibat pro kontra yang ditimbulkannya.

Sudah satu minggu ini Las tidak datang ke kostku. Hal ini cukup mengejutkan, sebab biasanya, ia selalu menampakkan batang hidung hitamnya di kamar kostku setiap hari. Dia datang ke kost kadang untuk sekedar ngobrol sambil minum kopi dan ngerokok bersama, pinjam CD bokep, dsbnya. Tentu saja aku heran, namun keherananku tertutupi dengan kesibukanku di tempat kerja karena adanya proyek baru dari big boss. Saat sedang asyik menulis artikel sambil ngopi, hp merek Chinaku tiba-tiba berbunyi, itu adalah Las.

“Hehehehe, si brengsek gila itu nelpon juga,” pikirku dan segera mengangkatnya. “Hey monyet, kemana aja lu, nggak pernah main ke kost lagi lu, lagi bertapa ke hutan lu ye?” cerocosku begitu aku mengangkat telpon tersebut.

“Maaf mas Omen, ini aku Putro, adiknya mas Las,” ujarnya dengan nada yang pelan dan terdengar berat, tanda si empunya suara sedang ada masalah.

“Oh, maaf cuy, kirain si Las kampret yang nelpon. Ada apa?” ujarku tetap dengan nada bercanda karena aku sudah akrab dengan keluarga besar Las, termasuk si Putro.

“Maaf mas, a….aku cu….cuma ingin nyampaikan kabar,” ujarnya terpotong, ada nada kegetiran saat Putro menjawab telponku. Namun, aku tak berpikir apapun saat itu.

“Ada apa sich kok kayaknya serius banget,” ujarku penasaran dan mulai terbawa suasana serius.

“Mas Las mas,” ujarnya tetap dengan nada getir. Kudengar desahan nafas panjang dari suara diujung telpon sana.

“Kenapa dengan Las, apa dia nggak pulang? Dia khan udah biasa nggak pulang, aku juga lagi nyari dia nich,” ujarku tetap dengan nada biasa tanpa tahu apa yang sedang berkecamuk dihati lawan bicaraku saat ini, si Putro, adik angkat Las.

“Mas Las mas, mas Las ditemukan meninggal tadi pagi di pinggir ladang tebu di daerah Wagiran,” ujarnya sambil terisak, tampak tak kuat lagi menahan rasa yang sedari tadi dipendamnya. Sedang aku, mendengar kabar itu benar-benar membuatku terkejut. Seketika kamarku seakan-akan berputar-putar dan pandanganku menjadi gelap. Aku berusaha mencerna perkataan Putro barusan, namun, aku masih tidak bisa mempercayainya. Aku tak lagi bisa mendengar ucapan Putro diujung telpon, sampai kemudian telpon itu sepertinya di akhiri. Aku masih seperti terkena petir di siang bolong saat mendengar kabar itu. Tubuhku kaku mematung sambil menerawang kembali pertemuan terakhir kami seminggu yang lalu.

Saat aku sudah mulai bisa menguasai keadaan dari rasa keterkejutanku, aku segera bangkit. Aku segera berganti pakaian dan langsung menuju Wisma Welas Asih, tempat tinggal Las. Begitu sampai disana, saya sudah mendapati banyak sekali pelayat, mulai dari kaum borjuis hingga kaum proletar. Aku tak heran, entah kekuatan apa yang dimilikinya, Las selalu bisa membuat orang lain nyaman saat didekatnya. Kematian Las, jelas pukulan telak bagiku, tidak ada lagi sahabat yang bisa kuajak curhat saat patah hati. Tidak ada lagi sahabat yang bisa aku ajak taruhan sepakbola. Tidak ada lagi sahabat yang suka ngebokep bareng sampai rela dibela-belain berburu CD bokep di pasar-pasar “gelap” perbokepan.

Wisma Welas Asih sore itu benar-benar ramai, aku segera masuk ke dalam menemui Mak Laksmi, ibu angkat Las. Wisma Welas Asih adalah sebuah panti asuhan, dan Las adalah penghuni angkatan pertama yang menempati panti yang dipimpin Mak Laksmi. Mak Laksmi, seorang wanita berumur 50 tahunan, menemukan Las didepan panti asuhannya 28 tahun yang lalu dalam sebuah kardus dengan tali pusar yang masih utuh. Aku lalu memeluk Mak Laksmi dan kami larut dalam kesedihan ats kepergian Las. Aku tak menangis, tapi dalam dada ini bergemuruh rasa yang tidak bisa diungkapkan. Ah, wanita tua yang malang, meski ia masih dikelilingi banyak anak asuhnya di panti ini, ia telah kehilangan “putra” kesayangannya. Putra yang sejak kecil selalu berusaha menyenangkan hatinya dan membantunya. Putra yang telah dia anggap sebagai anaknya sendiri, darah dagingnya, yang selalu bisa membuatnya tersenyum bangga. Setelah merasa letih karena kami sama-sama menumpahkan kesedihan dengan pelukan tanpa sepatah kata pun, aku akhirnya menuntun Mak Laksmi untuk beristirahat. Matanya tak henti-hentinya mengucurkan air mata, bibirnya bergetar hebat seakan hendak mengucapkan sepatah nama yang selalu mengisi hari-harinya selama puluhan tahun, si Las.

Aku segera beranjak hendak menemui Putro setelah membantu Mak Laksmi untuk duduk di ranjang tempat Las biasa tidur. Aku ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada alamarhum sahabatku itu. Kenapa dia bisa meninggal di Wagiran, sebuah desa yang letaknya jauh dari kota kami. Saat kulihat Putro sedang beristirahat sehabis melayani pelayat yang datang, aku segera menghampirinya.

“Put,” ujarku menyapanya lalu langsung memeluknya. Melihatku, ia langsung tak bisa menahan air matanya, ia menangisi kepergian kakak angkat tercintanya. Ya, sebagai penghuni pertama di Wisma Welas Asih, Las sangat dihormati, dia satu-satunya penghuni pertama yang tidak mau meninggalkan panti asuhan ini. Ia membantu Mak Laksmi untuk mengelola panti ini. Dia mencari dana untuk menghidupi serta mencukupi kehidupan 20 anak asuh disini. Dia bekerja apapun agar “adik-adik”nya bisa bertahan dan bersekolah. Sungguh aku tak tahu, kenapa orang tua kandungnya rela membuang anak semulia dia.

“Put, kok bisa seperti ini, apa yang terjadi?” tanyaku pada Putro setelah dia sudah mampu mengendalikan kesedihannya.

“Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi Mas. Siang tadi, Mak ditelpon pihak kepolisian yang mengabarkan mas Las ditemukan meninggal di Wagiran. Kami langsung menuju rumah sakit tempat jenazah mas Las diotopsi. Saat kesana, jenazahnya dalam kondisi yang mengenaskan. Kata dokter, mas Las kemungkinan sudah meninggal sekitar 2 hari yang lalu akibat penganiayaan,” Putro berujar lalu mengambil nafas dalam, nafsnya terdengar berat saat dihembuskan keluar. “Kata polisi, pihaknya akan menyelidiki kasus penganiayaan ini. Namun, kata polisi, ini juga salah mas Las sendiri yang dianggap memakai kaos “provokatif,” kaos yang dianggap sebagai bentuk dukungan pada PKI. Itu terbukti dengan adanya sayatan yang membentuk kalimat “Komunis tidak diterima di Indonesia” di dada mas Las,” Putro kembali meneruskan ceritanya sambil mengusap bekas air matanya. “Kami lalu meminta polisi untuk segera membawa jenazah mas Las agar bisa dimakamkan dengan segera,” tambah Putro.

Jam 7 malam, Jenazah Las diantarkan ke rumah terakhirnya di kuburan. Pelayat yang sangat banyak itu mengantarkan dia dengan penuh kesedihan namun juga kenangan yang tak terlupakan. Saat aku melangkah mengiri keranda Las, aku sesekali mendengar pujian dari para tamu tentag sikap Las. Aku tak kenal mereka, jadi aku yakin mereka tulus dengan ucapan itu. Prosesi pemakaman itu membuatku tambah sedih, namun aku harus tegar, aku ingin mengantarkan sahabatku untuk yang terakhir kalinya.

Setelah prosesi pemakaman, kami kembali lagi ke rumah duka. Aku taku kuat untuk terus berada disana. Aku tak kuat melihat Mak Laksmi yang terus-terusan menangis dan memanggil nama Las. Aku tak tega melihat Putro dan penghuni panti asuhan lainnya yang seakan masih terdiam tak percaya, kakak sekaligus panutan mereka pergi untuk selama-lamanya. Aku putuskan untuk pulang saja ke kost.

Sesampai di kost, aku segera mandi. Aku tak kerja hari ini, tapi entah kenapa badan ini terasa letih. Saat air dingin mengguyur tubuhku, anganku menerawang kembali kejadian seminggu yang lalu. “Ah Las, kau emang terlalu nekat, kau memakai kaos yang provokatif, dan kau harus menanggung konsekuensinya,” pikirku.

Selsai mandi dan memasak air untuk bikin kopi, aku hendak mengupdate status tentang meninggalnya sahabatku Las sekalian menumpahkan rasa sedih yang aku alami. Di Facebook, hanya selang beberapa menit setelah aku membikin update, sudah banyak teman yang mengucapkan bela sungkawa. Lalu, aku memeriksa emailku, entah kenapa aku ingin sekali membuka emailku, padahal aku jarang melakukannya. Saat aku sedang mengecek inbox, aku terperanjat ketika mendapat sebuah email dari akun yang sangat familiar. Itu adalah akun Las, sahabatku yang sudah meninggal. Rasa penasaran membuatku segera membukanya. Kulihat tanggalnya, email itu dikirim satu hari sebelum kejadian naas itu menimpanya. Aku baca emailnya yang berisi kurang lebih seperti ini:

Hai kawan,

Sorry jika kedatanganku kemarin sore ke kostmu sangat mengagetkanmu, apalagi dengan tingkah konyolku yang memperlihatkan kaos “PKI” itu. Aku tau kamu tak suka, bukan tak suka pada kaosnya, tapi aku tau kamu takut konsekuensi yang akan aku dapat. Bro, aku tau konsekuensinya, dan aku siap menempuh hal itu. Mungkin menurutmu aku gila, tapi tak apa, aku hanya ingin bangsa ini lepas dari opini publik yang menyesatkan. Lepas dari doktrin ketakutan saat melihat sebuah simbol.

Aku ingin bercerita kepadamu kawanku, 1 tahun yang lalu, aku berhasil bertemu dengan ibuku. Ya, kawan, setelah sekian lama akhirnya kami bertemu, ibuku sengaja untuk mencariku. Tapi, tolong, jangan katakan ini kepada Mak. Aku takut beliau sedih mendengar hal ini, makanya aku tidak memberitahukannya. Kawan, awalnya aku sangat marah, ingin rasanya aku meludahi mukanya yang tega menelantarkan aku sejak aku bayi. Bajingan macam apa yang berani menampakkan diri setelah puluhan tahun meninggalkanku kedinginan di depan panti asuhan itu. Amarahku memuncak, dadaku bergejolak, namun, akhirnya semua itu luruh, hilang tak berbekas, ketika ibuku (akhirnya aku tau namanya adalah Supartini) menunjukkan sebuah foto, foto keluarga yang penuh tanda silang bekas coretan spidol. Aku awalnya tak tahu apa arti foto keluarga itu, namun ibu menjelaskan semuanya dengan penuh penyesalan. Katanya, kakek dan ayahku adalah simpatisan PKI, Partai Komunis Indonesia, partai yang terlarang itu. Makanya sejak tahun ’65, keluarga kami diburu. Kakekku, akhirnya tertangkap pada tahun 1979, dan dieksekusi langsung. Kami sekeluarga tidak tahu dimana letak kuburannya hingga kini. Ayahku (yang kemudian aku tau bernama Suparman) yang saat itu lari bersama ibuku dan 1 anaknya yang berumur 9 tahun (ternyata aku punya kakak perempuan, namanya Rosyidah) terus bersembunyi. Mereka harus berganti-ganti kontrakan agar tidak terendus oleh aparat dan masyarakat yang sudah kadung benci dengan PKI. Tahun 1985, ayahku tertangkap saat sedang berjualan es puter di alun-alun, ayah dibawa oleh segerombolan tentara entah kemana. Dan sejak saat itu ayah tidak pernah pulang lagi. Ibu yang saat itu mengandung aku tak bisa berbuat banyak, dia berpikir keras bagaimana supaya, dia, kakaku, dan calon bayi (aku) bisa selamat. Sebab, dari desas-desus, ternyata ibu juga dicari. 1 minggu kemudian aku lahir, dan ibu nekat menaruhku di Wisma Welas Asih agar aku tidak perlu menanggung derita sebagai keturunan mantan PKI. Ibu juga menitipkan kakak perempuanku yang saat aku lahir berusia 15 tahun ke salah satu kerabatnya. Dia lalu pergi ke luar negeri (Brunai Darussalam) sebagai pembantu agar bisa menyambung hidup.

Ibu bilang, dalam setiap detik hidupnya, tidak ada satu detikpun tanpa memikirkan nasibku dan kakakku. Ia menangis dalam hati dan terus menyesali perbuatannya, namun, perbuatan yang harus dilakukan demi keselamatan dan kebaikanku. Foto yang ditunjukkan padaku adalah foto keluargaku, semua wajah yang ada disana telah tercoret spidol, yang artinya mereka semua telah mati setelah kejadian G30S, hanya ibuku yang tersisa. Setelah rezim Suharto runtuh, ibu sebenarnya ingin segera pulang dan tinggal bersama aku dan kakakku sebagai satu keluarga utuh. Namun, dia masih memantau kalau keadaan di Indonesia masih belum aman. Baru tahun kemarin ia berani pulang dan langsung membuka semua rahasia itu kepadaku. Saat itu, perasaanku bercampur aduk kawan, antara senang, marah, jengkel, lega, dsbnya. Sejak tahun lalu, aku akhirnya sering mengunjungi ibu, itu alasanku jarang pulang ke panti asuhan. Kakakku tidak bisa menemani ibu sebab dia sudah punya keluarga, dan ibu mengerti akan hal itu. Jadi tinggal akulah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Sedangkan aku, jelas tak mungkin meninggalkan Mak. Walau dia bukan ibu kandungku, dia sudah seperti ibu kandungku, oleh karena itu, aku ingin merawat kedua-duanya dengan caraku. Aku seperti orang yang memiliki 2 istri, hehehe, 3 hari ke panti, 3 hari ke rumah ibu, 1 hari free untuk mencari wanita lain, kakakakakakakak. Dari ibuku aku mendengar banyak sekali cerita, cerita tentang bangsa ini di masa lalu. Tapi aku tidak mungkin berbaginya di email. Mungkin nanti kalau kita bertemu aku bisa cerita sedikit demi sedikit.

Dari sanalah ideku muncul untuk membuat karya kaos “PKI” tersebut. Aku akui itu kaos yang kontroversi yang akan bisa membuat banyak pihak meradang. Tapi, aku tidak hendak menujukkan bahwa aku bangga menjadi anak komunis, tidak, sama sekali tidak. PKI atau komunis, aku tidak pernah merasakannya, karena aku belum lahir saat itu. Aku hanya mendengarnya dari buku pelajaran sejarah, buku yang membahas tentang hal itu, dari cerita ibuku. Namun bagiku sumber-sumber itu masih belum cukup bagiku untuk mengemukakan apakah PKI salah atau benar dalam kejadian G30S. Biarlah itu menjadi masa lalu, ideku membuat kaos hanyalah untuk menjadikan masyarakat mengerti bahwa kita harus melihat sudut pandang yang berbeda dari suatu masalah atau keadaan. PKI bagiku hanyalah kumpulan huruf P, K, dan I yang dijadikan jadi satu sebagai sebuah singkatan, tidak lebih. Namun kenapa kumpulan huruf itu begitu ditakuti. Ah, hal itu membuatku berpikir, “seseorang atau kelompok yang menguasai bahasa dan seni berkomunikasi akan mampu menguasai dunia.” PKI memang merupakan kepanjangan Partai Komunis Indonesia, namun itu tetaplah hanya huruf, tidak memiliki makna apa-apa. Kamu bisa membuat beragam singkatan dari huruf itu. Makanya aku tulis aku bangga menjadi PKI, singkatannya bukan merujuk pada Partai Komunis Indonesia, tapi aku mebuat singkatan itu menjadi lebih positif, Pelopor Kebangkitan Indonesia. Apa yang aneh dengan banyaknya singkatan dari kumpulan huruf? Singkatan itu tergantung kita, manusianya dalam menggunakannya. Aku bisa kasih banyak contoh, singkatan dari huruf yang sama namun memiliki makna berbeda. Di Indonesia kita mengenal singkatan PBB, kamu tahulah singkatan yang paling umum adalah Persatuan Bangsa-Bangsa, namun singkatan itu bisa berubah menjadi Partai Bulan Bintang. Lalu ada juga singkatan NATO, yang jika dilihat singkatan aslinya dalah North Atlantic Treaty Organization. Namun singakatan itu bisa dipelesetkan menjadi idiom kata gaul yaitu Not Action Talk Only. Jadi penggunaan huruf itu tergantung kita, apakah mau menjadi singkatan yang menakutkan atau justru membangun. Namun aku tau ternyata itu sulit. Selain kamu, masih banyak orang yang juga menentang ideku ini. Masyarakat sudah terlalu terinstitusi dengan singkatan PKI yang menakutkan, bahwa PKI itu pasti merujuk pada komunis. Sejak aku memakai kaos tersebut, berkali-kali aku mendapatkan telepon dari nomer tak dikenal yang memberikan ancaman. Namun, anggapan itu aku anggap angin lalu saja. Toh, di era reformasi ini, setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasinya.

So, kawan, sekali lagi sorry kalo gw ngagetin lu dengan segala ke”gila”anku itu. Terserah apa tanggapan lu dengan itu semua. Yang pasti kawan, hati-hati dengan doktrin, apapun itu, terutama hal-hal yang tak boleh untuk dibicarakan. Ingat pesan dari mbah Hitler, “kebohongan yang diucapkan seribu kali bisa menjadi sebuah kebenaran,” hehehehe. Teliti sebelum beli, kalo lu beli CD bokep aja lu coba dulu, bisa apa gak, begitu juga kalo lu dapet informasi, hahahahaha. Ya udah dech, billing warnet gw mau habis nich. Ciao!

Aku tersenyum membaca email si Las, sampai menjelang ajalnya, ia tetap orang yang sama, ia adalah orang gila, gila dalam hal yang positif. Aku jadi ingat perkataannya saat aku mengoloknya gila karena pemikiran nyelenehnya. “Orang gila terkadang adalah orang yang waras di tengah-tengah orang gila yang mengaku dirinya waras,” ujarnya saat itu dengan nada riang. Sahabat, lu emang sarap, lu emang koplak, lu emang geje, tapi aku bangga bisa menjadi sahabatmu. Lu dengan segala keanehan cara berpikir lu adalah sebuah oase, yang mungkin bagi sebagian orang terlihat layaknya fatamorgana. Aku mengerti kini apa maksudmu kawan dengan kaos kontroversial itu. Bahwa aku harus melawan ketakutan sendiri dan berdamai dengan masa lalu, betapapun pahitnya itu. Sayangnya, aku tidak senekat kau untuk memakai kaos itu. Namun, sekarang aku pun akan dengan berani berteriak kalo aku bangga menjadi PKI, bukan Partai Komunis Indonesia, bukan Pelopor Kebangkitan Indonesia, singkatan yang lu buat, tapi Pecinta Kedamaian Indonesia. Aku cinta PKI, hidup PKI!

Aku lalu teringat dengan CD yang kau berikan padaku bersamaan dengan CD bokepku yang lu kembaliin. Aku putar CD itu di laptop, aku ingin tahu film apa yang bakal gw suka. Ternyata, lu benar brai, gw emang menyukai film yang lu buat. Video itu adalah video kenangan kami saat kuliah bareng hingga kami sekarang sudah kerja masing-masing. Ternyata Las menyimpan semua video itu, video yang berisis hal lucu hingga memalukan saat kita berdua. Ah, sahabat, sekali lagi lu membuatku terkejut. Sambil tersenyum aku keluar ke balkon kostku. Aku melihat ke atas ke arah langit yang saat ini tampak cerah ditemani sinar bulan dan bintang. Dari kejauhan, kulihat satu bintang berkerlap-kerlip lebih terang dari yang lainnya. Ah, sahabat, kau tidak meninggalkanku, kau kini telah menyatu dengan alam, menjadi bintang yang selalu menemani dan mengawasiku hingga akhir hayatku. Senyumku semakin mengembang, dan tanpa sadar aku berteriak, “terima kasih sobat, terima kasih atas segala kenangan indah persahabatan kita.”

About the author

Donec non enim in turpis pulvinar facilisis. Ut felis. Praesent dapibus, neque id cursus faucibus. Aenean fermentum, eget tincidunt.

0 comments: